Sebagai penjelajah sejati, saya harus bertanggung jawab menceritakan semua pengalaman saya kepada sesama petualang. Karena informasi dalam dunia bertualang ini adalah harga mati, jiahh.
Perjalanan kali
ini sedikit berbeda, setelah saya mendapat banyak benturan PHP di Susu Murni
Gundaling. Hati saya menyeret nya untuk segera move on ke tempat yang berbeda. Mungkin
saya berdua harus segera hijrah untuk mendinginkan pikiran, eh saya pribadi
deng, yang galau sayakan hahaa. Soalnya jujur, ekspektasi berlebih itu sakit,
apalagi sampe berharap banget pengen meras susu di tempat pemerasan sapi barusan,
asli sakit banget rasanya. PHP broh, sedihh
Saya memang
sudah berencana bahwa setelah menghabiskan tempat – tempat di Brastagi mau
langsung menuju ke air terjun sipiso – piso. Tapi mengapa akhir dari cerita
Brastagi tidak romantis? Hiks hiks
Tapi sudah
jangan diratapi berlebihan , saya coba mengalihkan ke GPS untuk melihat waktu
menuju kesana. Ternyata sekitar dua jaman lagi, jadi untuk mempercepat
perjalanan, kami harus berangkat sesegera mungkin. Dadahhhhhh…… Pada waktu itu
saya mencoba memakai rute yang akan menuju ke Pagoda , karena GPS berkata “anda
menggunakan jalur tercepat,”.
Sedikit seneng sih ngendengarnya, makannya saya sangat
bersemangat sekali untuk menuju ke lokasi. Berbagai jalan telah saya lewati,
dari jalan yang halus, berlobang, hingga tidak ada tambalan aspal sama sekali
terpaksa saya lewat dengan begitu senang hati di jalur ini. Pada saat itu saya
mengendarai sepeda motor dengan kecepat
50 – 70 KM/ jam konstan. Pacar saya pun hingga tidak fokus lagi pada
GPS, maklum cewe kalo di ajak ngebut eskpresinya bakal beda. Hingga dalam lima belas menit perjalanan, tidak
sadar bahwa signal HP mulai tidak stabil. Arah GPS pun mulai kacau, sedangkan di depan ada pertigaan. Perdebatanpun
di mulai.
“yang
kemana kita belok?”. Tanya saya sambil menurunkan kecepatan.
“maaf yang,
GPS kita dari tadi ternyata sudah gak hidup,”
Saya merasa sedikit kesal, hingga akhirnya sedikit menarik nafas pelan – pelan untuk menenangkan pikiran. Lalu berusaha untuk berhenti sejenak untuk berpikir. Sayang sekali pada saat itu di pinggiran jalan sedang sepi, tidak ada satupun kendaraan yang melintas apalagi orang yang bisa saya tanya, pacar saya dengan rasa hawatirnya dia begitu cepat memutuskan untuk segera balik arah menuju Brastagi. Namun entah mengapa hati saya masih tetap teguh untuk menyelesaikan misi hijrah ini menuju kesana. Saya sempat teringat darI buku yang menurut saya agak gila, namun pengalamannya sangat membantu. Buku itu berjudul ”Penjelajah Gagal” karya Arobi, ada kata bijak yang tersangkut di otak ini, kalo apapun rintangan saat kita bertualang pasti bakal menemukan jalannya meskipun harus berat. Kata – kata bijak darinya membuat saya menjadi bersemangat lagi.
“yang
pegangan ya, kita akan lanjut lagi ke tujuan kita,” Saya bergegas untuk
berangkat lagi.
“emang kamu
tau jalannya?”
Saya bales dengan santai “percayakan dengan insting saya ok,”. Dengan gaya kedipan mengkilat ala guru Guy. Dengan penuh rasa percaya diri, saya memutuskan untuk mengambil jalan kiri. Jalan itu Melewati perkebunan jagung dan sekolah SD. Mendadak hati ini merasa senang, karena setlah memilih jalan kiri ini, saya melihat sudah mulai banyak pemukiman. Pacar saya pun sudah agak ceria lagi pada wajahnya. Setelah sepuluh menit perjalanan, saya merasakan aneh. Karena jalan makin sini, malah makin sempit. Suara musik khas Karo semakin saya melaju malah semakin terdengar jelas, penuh penasarn saya labrak aja. Setelah nymape ternyata pada saat itu sedang ada persepsi pernikahan adat Karo. Saya tidakbegitu paham dengan tatakrama disini, namun untuk menghargainya saya turunkan kecepatan berkendara saya, sambil memasang muka senyum penuh damai. Saya hanya berpikir ngeri saja jika ada salah tindakyang kurang baik. Namun mereka yang berada disana merasa sedikit heran, pandanganya serentak terpanah pada kita yang mungkin lewat tanpa permisi, hanya bermodalkan senyuman yang mempesona saja. Apa mungkin anggapan mereka kita gila? Positif thinking aja tapi haha. Warga disana kompak menggunakan seragam adatnya, sedangkan kita hanya jaket, bercelanajean sambil membawa tas. Mungkin bisa dibayangkan, kami seperti siluman semut di dalam gundukan beras putih. Kita pun berhasil melewati acara adat mereka , namun masalah masih belum masih belum beres. Kita dilanda dengan kebingungan karena, jalur kita mentok. Hanya ada satu jalur dan menurut saya itu tidak mungkin saya lewati. Tanpa mengulur waktu, saya mencoba untuk memberhentikan motor, dan berniat untuk menanyakan arah yang sebenarnya. Pada waktu itu kebetulan ada bapak – bapak berbadan tingga kekar sedang berjalan, terpaksa dengan rasa terpaksa saya coba tegur.
“maaf bang,
saya mau nanya arah jalan ke piso – piso kemana ya?”
Tidak lama
dia pun menjawab
“oh piso –
piso air terjun itu? kalian salah jalur lah. Kesini mana bisa tembus kesana,
kau harus putar arah lagi ke pertigaan sebelum kesini. Beloklah kanan, kenapa
kau kesini? Dengan nada keras khas Karo.
Awalnya
saya merasa kurang nyaman dengan nada bicaranya, namun gimana lagi saya harus
bisa memberanikan diri untuk berkomunikasi. Karena ini khas nada bicara Medan,
oras pokonya.
“jadi kira –
kira berajam lagi dari sini bang?”
“lah kau
menanyakan waktu menuju kesana, masih jauh lah. Lebih baik kau segera putar
arah sebelum kesorean, sekitar satujam setengah lagi kemungkinan,”.
“Waduh ngusir
ni orang,”. Isi benak pikiran saya yang negatif, tap gimana lagi kita harus
bisa menerima di negara Indonesa tercinta ini, karena inilah perbedaan.
Tidak berlama-
lama saya pun langsung bergegas balik ke jalan semula, tapi harus pelan dulu
karena harus kembali melewati persepsi pernikahan hehe… habis dari itu,
tancapgas lagiii.